Elegi Pasir Munjul: Bisikan Tanah yang Membelah Ratusan Mimpi

Dampak pergeseran tanah di Desa Pasir Munjul, Purwakarta/taktis.co

Kampung Cigintung, Desa Pasir Munjul, Sukatani, Purwakarta, tertunduk lesu. Bukan hanya debu yang beterbangan, melainkan serpihan-serpihan mimpi yang hancur berantakan.

Pergeseran tanah, yang terjadi Rabu malam, 11 Juni 2025, ibarat nafas bumi yang memburu, telah menghancurkan sedikitnya 45 rumah di RT 008 RW 004, meninggalkan jejak luka yang menganga.

Rumah-rumah, yang dulunya berdiri kokoh sebagai benteng keluarga, kini tercabik-cabik oleh tangan tak kasat mata.

Dinding-dindingnya retak bagai tubuh yang tersiksa, atapnya merintih jatuh menimpa kenangan, dan pondasi yang dulu teguh kini luluh lantak, menyerah pada bisikan bumi yang tak tertahankan.

Beberapa rumah, bagai mayat yang terbujur kaku, tak lagi mampu berdiri, hanya menyisakan puing-puing yang pilu. Warga yang kehilangan tempat berteduh, terusir dari pelukan rumah, mencari perlindungan di tengah kepiluan yang mendalam.

Dede Sunarya, salah satu penghuni yang kehilangan rumahnya, menceritakan kesedihannya dengan suara yang bergetar.

Pergeseran tanah bukanlah hal baru, namun kali ini, bumi seakan mengamuk, melepaskan amarahnya dengan kekuatan yang tak terbayangkan.

“Tanah di sini memang sering bergeser, tapi kali ini, seperti bumi menangis, menumpahkan air matanya yang kelam,” ujarnya, Kamis, 12 Juni 2025.

Ketakutan dan kesedihan menyelimuti warga. Bantuan logistik dari pemerintah terasa bagai setetes embun di padang pasir yang luas.

Warga memohon uluran tangan, meminta percepatan evakuasi bagi mereka yang terluka, dan kejelasan mengenai bantuan perbaikan rumah bahkan relokasi untuk mereka yang kehilangan segalanya.

Harapan akan masa depan yang lebih baik, bagaikan bintang yang redup, menunggu untuk kembali bersinar.

Di tengah kepiluan ini, semangat gotong royong warga Pasir Munjul bagai cahaya lilin kecil yang menyala di tengah kegelapan.

Mereka berjuang menyelamatkan sisa-sisa harta benda, mencari kepingan-kepingan mimpi yang tersisa. Namun, kekuatan alam yang dahsyat ini telah melampaui kemampuan manusia. Kondisi infrastruktur lingkungan pun hancur, jalan-jalan utama terputus, bagaikan urat nadi yang terhenti alirannya.

Tragedi Pasir Munjul, lebih dari sekadar bencana alam, merupakan sebuah puisi pilu tentang kerapuhan manusia di hadapan kekuatan alam yang maha dahsyat.

Lebih dari bantuan materi, warga Pasir Munjul membutuhkan sentuhan kasih sayang dan kepastian dari pemerintah, sebuah janji untuk membangun kembali mimpi-mimpi yang telah hancur.

Semoga keprihatinan ini segera dibalas dengan tindakan nyata, sebuah simfoni harapan yang mampu mengobati luka dan mengembalikan senyum di wajah warga Pasir Munjul.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *