Kasus perundungan yang menimpa sejumlah pelajar MTsN Purwakarta terus menuai perhatian publik. Praktisi Psikologi Agus Sanusi, M.Psi., menegaskan bahwa bullying tidak boleh dilihat hanya sebagai perilaku “nakal” dari individu pelaku, melainkan sebagai persoalan budaya yang berkembang di lingkungan sekolah.
“Banyak pendidik gagal melihat bahwa dalam banyak kasus bullying, persoalannya bukan semata perilaku individu. Ada budaya senioritas dan pola relasi yang dibiarkan berlangsung secara tidak sehat. Selama budaya ini tidak dibongkar, pelaku boleh berganti, tetapi pola kekerasan akan terus berulang,” tegas Agus Sanusi, M.Psi., Rabu, 8 Oktober 2025.
Menurutnya, pola kekerasan ini sering dianggap “tradisi” atau “hal biasa” dalam lingkungan sekolah berasrama atau sekolah dengan sistem senioritas kuat. Padahal, jika dibiarkan, budaya tersebut menjadi lahan subur bagi tindakan perundungan terorganisasi.
“Sekolah seharusnya bukan hanya ruang belajar, tapi juga ruang aman dan setara bagi semua peserta didik. Budaya senioritas yang tidak dikontrol bisa menciptakan ketakutan sistemik di kalangan siswa junior,” lanjut Agus.
Kasus ini mencuat setelah orang tua korban DF mendatangi P2TP2A Kabupaten Purwakarta untuk meminta pendampingan psikologis atas trauma yang dialami anaknya. DF mengalami luka-luka dan patah tulang hidung setelah dikeroyok puluhan kakak kelasnya di lingkungan sekolah yang berlokasi di Kelurahan Purwamekar, Purwakarta itu.
Pihak korban dan pelaku beserta orang tua masing-masing telah dipertemukan untuk mediasi. Pihak sekolah juga menyatakan akan melakukan pendampingan kepada pelaku maupun korban pascakejadian.
Meski demikian, Agus mendorong pihak sekolah dan lembaga pendidikan terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan serta budaya internal sekolah. “Pendekatan psikologis kepada korban penting, tetapi pencegahan struktural jauh lebih penting agar tidak ada korban berikutnya,” ujarnya.








