Secara hukum, tanggung jawab terhadap alih fungsi lahan pertanian berada pada pemilik lahan, pengembang proyek, dan pemerintah daerah yang mengeluarkan izin. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor: 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Direktur pada Lembaga Kajian Kebijakan Publik Analitika Purwakarta, Agus Sanusi mengatakan bahwa pemerintah daerah melalui dinas terkait, memegang peran sentral dalam mengawasi dan mengendalikan alih fungsi lahan.
“Mulai dari menyusun dan menerapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara jelas menetapkan zona pertanian yang dilindungi. Tidak menerbitkan izin lokasi atau izin mendirikan bangunan (IMB) atau kini disebut PBG untuk pembangunan di lahan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dan memberikan sanksi administratif, seperti denda atau pencabutan izin kepada pihak yang melakukan alih fungsi lahan secara ilegal,” kata Agus.
Sementara, untuk pemilik lahan memiliki tanggung jawab untuk menjaga fungsi lahannya sesuai dengan peruntukannya. Sanksi pidana dapat dikenakan kepada pemilik lahan yang dengan sengaja mengubah fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Kemudian ada pengembang proyek termasuk developer, bertanggung jawab penuh untuk memastikan bahwa proyek yang mereka bangun tidak berada di zona lahan pertanian yang dilindungi. Mereka harus mematuhi RTRW yang berlaku, memastikan semua izin yang diperlukan, seperti izin lokasi dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), diperoleh sesuai prosedur hingga mengajukan permohonan alih fungsi lahan kepada pemerintah jika lahan yang akan dibangun bukan termasuk lahan yang dilindungi, dan mengikuti semua persyaratan yang berlaku.
“Jika seorang developer membangun perumahan di atas lahan pertanian yang dilindungi tanpa izin, mereka dapat dikenakan sanksi pidana, termasuk denda dan penjara, sesuai UU Nomor: 41 Tahun 2009,” kata Agus.
“Selain itu, izin pembangunan mereka bisa dicabut, dan pemerintah bisa memerintahkan pembongkaran bangunan tersebut. Dengan demikian, tanggung jawab developer sangat jelas, yaitu memastikan setiap proyek yang mereka kembangkan mematuhi peraturan yang ada untuk melindungi lahan pertanian,” tambah Agus.
Implikasi Alih Fungsi Lahan di Purwakarta
Sementara, dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Purwakarta Dalam Angka 2025, diperoleh informasi bahwa dalam empat tahun terakhir, lahan sawah di Purwakarta mengalami penyusutan yang signifikan.
Data menunjukkan bahwa lahan sawah berkurang dari 46.853 hektare pada tahun 2020 menjadi 44.521 hektare pada tahun 2024. Kehilangan lahan seluas 2.332 hektare ini setara dengan sekitar 3.000 lapangan sepak bola, yang sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi lahan untuk keperluan industri dan perumahan.
Meskipun terjadi penyusutan lahan, produktivitas padi di Purwakarta tetap tinggi. Pada tahun 2024, Purwakarta berhasil menghasilkan 267.711 ton gabah kering panen dengan produktivitas mencapai 6,01 ton per hektare. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata nasional. Namun, kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Purwakarta hanya sebesar 4,09 persen.
Kondisi ini mencerminkan adanya jurang yang semakin lebar antara angka produksi dan kesejahteraan petani. Saat panen raya, harga gabah seringkali anjlok hingga di bawah ongkos produksi. Rata-rata petani di Purwakarta menggarap lahan di bawah satu hektare, yang membuat daya tawar mereka di pasar semakin lemah.
Selain itu, minimnya regenerasi petani menjadi masalah serius. Usia rata-rata petani di Purwakarta saat ini berada di atas 45 tahun, sementara generasi muda lebih memilih untuk bekerja di sektor industri atau jasa yang menawarkan penghasilan yang lebih stabil.
Komoditas lain seperti padi ladang hanya menghasilkan 169 ton dari 34 hektare lahan. Sektor perkebunan menghasilkan 4.240 ton karet, 1.407 ton kelapa, dan 4.190 ton tebu. Sektor peternakan mencatat populasi ayam pedaging sebanyak 10 juta ekor, sapi potong 26 ribu ekor, kambing 74 ribu ekor, dan perikanan budidaya sebanyak 17.760 ton. Namun, harga di tingkat produsen masih rendah, yang menunjukkan masalah dalam rantai pasok dan pemasaran.
Berdasarkan BPS Provinsi Jawa Barat, terkait Perkembangan Nilai Tukar Petani Januari-Februari 2025 Secara makro, Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Barat pada awal tahun 2025 berada di kisaran 113-114. Angka ini menunjukkan bahwa harga yang diterima petani secara umum masih lebih tinggi dari biaya produksi. Namun, angka provinsi ini tidak sepenuhnya mencerminkan tekanan lokal yang dihadapi oleh petani di Purwakarta, seperti penyusutan lahan, skala usaha yang semakin kecil, dan minimnya regenerasi.
Jika tren alih fungsi lahan ini terus berlanjut, Purwakarta berisiko menghadapi krisis pangan lokal. Meskipun produksi padi tetap tinggi, jumlah petani terus menurun, lahan semakin sempit, dan ketergantungan pada pasokan dari luar daerah meningkat. Angka-angka ini adalah sinyal peringatan yang tidak boleh diabaikan.
Pemerintah daerah, pemilik lahan, dan pengembang proyek harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pembangunan di Purwakarta dilakukan secara berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan perlindungan lahan pertanian dan kesejahteraan petani.