taktis.co – Fenomena pergantian partai politik, yang seringkali disebut sebagai “kutu loncat,” telah menjadi pemandangan umum dalam lanskap politik Indonesia. Praktik ini, di mana figur publik berpindah-pindah afiliasi partai, menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan komitmen mereka. Kasus Wakil Bupati Purwakarta, Abang Ijo Hapidin, menjadi contoh nyata bagaimana “kutu loncat” dapat mengikis kepercayaan publik.
Kisah Abang Ijo dimulai pada Januari 2023, saat ia mendaftar sebagai Caleg di PKB Purwakarta, menyatakan niatnya untuk memperjuangkan kesejahteraan petani. Namun, “Panglima Tani” ini tak lama berlabuh di PKB. Menjelang Pileg 2024, ia beralih ke Partai NasDem sebagai Caleg DPRD Provinsi Jawa Barat. Keberuntungan tampaknya belum berpihak padanya.
Perjalanan politik Abang Ijo berlanjut. Menjelang Pilkada Purwakarta, ia mencoba peruntungan di beberapa partai, hingga akhirnya diusung Partai Demokrat berpasangan dengan Saepul Bahri Binzein yang diusung oleh Partai Gerindra dan Partai Hanura. Setelah terpilih sebagai Wakil Bupati, kabar terbaru menyebutkan ia bergabung dengan PSI, bahkan dikabarkan menjabat sebagai Ketua DPW Jawa Barat.
Serangkaian perpindahan ini menggambarkan sebuah pola: keputusan politik yang didorong oleh pertimbangan pragmatis, bukan komitmen ideologis. Ambisi untuk meraih posisi strategis dan memanfaatkan dinamika politik tampaknya menjadi motif utama.
Dampak dari tindakan seperti ini terhadap kepercayaan publik sangat signifikan. Publik semakin skeptis terhadap politisi, memandang mereka sebagai individu oportunis yang mengejar kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan rasa apatis dan mengurangi partisipasi politik. Kepercayaan publik yang rendah pada akhirnya membahayakan stabilitas pemerintahan dan proses demokrasi.
Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari fenomena ini? Politisi yang kerap “pundah-pindah” partai seakan menganggap partai politik sebagai “kos-kosan” tempat mereka singgah sebentar sebelum mencari tempat yang lebih sesuai dengan kepentingan pribadi.
Parpol Dianggap Kos-kosan?
Di sisi lain, Mufti Alfiansyah, Pengamat Sosial dan Politik di Purwakarta memberikan pandangannya. “Politik seperti ini hanya mencerminkan sebuah politik oportunis. Partai dianggap seperti kos-kosan, jika tidak cocok, tinggal pindah. Tidak ada komitmen ideologi yang jelas,” kata Mufti, kepada awak media, Rabu 2 April 2025.
Bagi Mufti, tindakan loncat partai yang sering terjadi ini sangat merugikan bagi demokrasi kita. Partai seharusnya bukan hanya tempat untuk mencari kenyamanan atau kursi kekuasaan, melainkan sebuah wadah untuk memperjuangkan nilai dan ideologi yang jelas.
“Politik tidak boleh hanya mengutamakan kepentingan pribadi. Jika seorang politisi berpindah-pindah hanya karena tidak ada keuntungan di partai sebelumnya, berarti politiknya lebih fokus pada pencapaian pribadi, bukan untuk memperjuangkan rakyat,” tegasnya.
Jika fenomena loncat partai seperti ini terus berlanjut, kita harus mulai bertanya-tanya: apakah kita akan terus mendukung politisi yang berpindah-pindah demi kepentingan pribadi, atau memilih mereka yang memiliki komitmen kuat terhadap visi, ideologi, dan perjuangan untuk rakyat?
“Politik yang kuat harus dibangun atas dasar ideologi yang kokoh dan tidak tergantung pada keuntungan jangka pendek. Jika ini tidak diubah, maka kita hanya akan terjebak dalam politik yang kosong, tanpa arah, dan jauh dari tujuan besar untuk memajukan rakyat,” demikian Mufti Alfiansyah.
Terkait jabatannya sebagai Ketua DPW PSI Jawa Barat, hingga naskah ini dibuat, awak media belum memperoleh keterangan resmi dari Wakil Bupati Purwakarta, Abang Ijo Hapidin.***