Opini  

Promosi JPT di Purwakarta: Akankah Sejarah Terulang?

Ilustrasi/Net.

Masa depan birokrasi idealnya ditentukan oleh integritas dan kompetensi, bukan kekuasaan dan uang. Namun, pengalaman masa lalu di Purwakarta terkait rotasi dan mutasi jabatan menimbulkan kekhawatiran.

Dugaan praktik yang tidak transparan, ketidaksesuaian kompetensi, prioritas pada loyalitas ketimbang prestasi, dan isu “jual beli jabatan” menciptakan bayang-bayang atas proses promosi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) yang akan datang. Mengingat sistem dan aktor kekuasaan yang sama masih berperan, risiko terulangnya praktik serupa sangat besar.

Apa yang dipertaruhkan dalam promosi JPT ini sangat signifikan. Jabatan JPT bukan sekadar kenaikan pangkat, melainkan kunci penentu arah kebijakan daerah, pengelolaan anggaran publik yang besar, dan representasi kepala daerah dalam struktur organisasi.

Jika promosi JPT jatuh ke tangan plutokrasi, jabatan tersebut akan menjadi alat konsolidasi kekuasaan politik dan ekonomi, diisi oleh individu yang memiliki kedekatan dengan “circle of power”—didorong oleh loyalitas, kekerabatan, atau kemampuan finansial.

Dengan sistem yang ada, dominasi aktor kekuasaan yang sama, dan minimnya kontrol publik, kemungkinan besar promosi JPT di Purwakarta akan kembali tersandera plutokrasi. Hal ini bukan hanya masalah administratif, tetapi juga berpotensi melanggar hukum.

Jika promosi JPT didasarkan pada “setoran” atau “uang pelicin,” maka ini masuk kategori gratifikasi atau suap. Manipulasi seleksi, intervensi politik, atau pengangkatan di luar prosedur juga merupakan pelanggaran hukum yang merusak integritas birokrasi.

Purwakarta membutuhkan pejabat yang digerakkan oleh nilai dan integritas, bukan yang dibayar oleh kekuasaan. Oleh karena itu, pengawasan, perlawanan, dan pelaporan atas dugaan penyimpangan sangat penting.

Masyarakat, ASN yang dirugikan, DPRD, dan media memiliki hak untuk melaporkan dugaan praktik plutokrasi ini kepada BKN, Ombudsman, APH, KPK, dan bahkan Komnas HAM jika ada indikasi diskriminasi atau intimidasi. Praktik plutokrasi dalam birokrasi harus dihentikan, demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

M. Agus Yasin
Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *