Opini  

Menguji Demokrasi Indonesia Pasca Reshuffle Kabinet

Net.

Demokrasi di Indonesia sejak awal reformasi selalu dikonstruksikan sebagai sistem yang mampu memberikan ruang partisipasi rakyat, membatasi kekuasaan, serta menyeimbangkan hubungan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Namun, dalam praktiknya, demokrasi kita seringkali hanya berhenti pada ranah prosedural, tanpa benar-benar mencapai esensi substantif berupa kesejahteraan rakyat, keadilan, dan tata kelola pemerintahan yang bersih.

Peristiwa reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden baru-baru ini patut dikritisi sebagai fenomena politik yang sarat dengan dinamika kepentingan. Alih-alih sekadar dimaknai sebagai upaya memperbaiki kinerja pemerintahan, reshuffle sering menjadi instrumen untuk menjaga stabilitas politik internal, terutama menjaga koalisi partai-partai yang menopang kekuasaan.

Di titik inilah problem demokrasi Indonesia tampak jelas: dominasi partai politik dalam ranah eksekutif dan legislatif mengikis fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan secara independen.

Secara teoritis, demokrasi menuntut adanya hubungan yang sehat dan rasional antara eksekutif dan legislatif. Namun, realitas politik di Indonesia memperlihatkan adanya “emosional politik” antara keduanya – sebuah situasi di mana hubungan kelembagaan lebih didorong oleh kedekatan partai dan kepentingan kekuasaan, daripada fungsi konstitusional yang melekat.

Menteri-menteri yang sebagian besar merupakan kader partai bahkan pimpinan, tentu saja memiliki irisan kepentingan dengan anggota legislatif yang berasal dari partai yang sama. Hal ini menimbulkan bias dalam proses pengawasan, sehingga fungsi check and balance tidak berjalan secara utuh.

Legislatif, yang secara konstitusional merupakan pengawas kinerja pemerintah, dalam praktiknya kerap tereduksi menjadi sekadar mitra politik. Akibatnya, ia kehilangan taringnya sebagai lembaga pengontrol. Gambaran “macan ompong” menjadi metafora yang tepat untuk menjelaskan posisi legislatif saat ini: memiliki kewenangan besar secara normatif, tetapi lemah dalam aktualisasi.

Kondisi di atas berimplikasi serius terhadap kualitas demokrasi Indonesia. Pertama, rakyat kehilangan ruang representasi sejati karena wakil-wakil mereka di parlemen tidak sepenuhnya menjalankan fungsi kontrol, melainkan lebih sibuk menjaga harmoni politik dengan eksekutif.

Kedua, praktik reshuffle yang dilandasi kompromi politik justru memperdalam fragmentasi kepentingan elit, bukan memperkuat kapasitas birokrasi. Ketiga, demokrasi kehilangan nilai substansialnya karena lebih menonjolkan stabilitas kekuasaan ketimbang kualitas pelayanan publik.

Jika pola ini terus berlanjut, maka demokrasi Indonesia akan terjebak dalam paradoks: di satu sisi terlihat ramai dengan dinamika politik, tetapi di sisi lain hampa dari makna pengawasan yang sejati.

Sebagai akademisi, saya menekankan pentingnya perubahan paradigma dalam mengelola demokrasi. Reshuffle menteri seharusnya dijadikan momentum bukan hanya untuk menata kembali formasi pemerintahan, melainkan juga untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi substantif.

Presiden harus berani menempatkan figur-figur profesional dan berintegritas dalam kabinet, bukan semata kader partai yang hanya berfungsi menjaga keseimbangan politik.

Selain itu, legislatif harus dikembalikan pada ruh konstitusionalnya sebagai lembaga pengawasan. Independensi dan keberanian dalam menjalankan fungsi kontrol tidak boleh dikorbankan hanya demi stabilitas koalisi. Pengawasan legislatif yang kuat merupakan syarat mutlak untuk memastikan eksekutif berjalan dalam koridor hukum, kepentingan rakyat, dan akuntabilitas publik.

Demokrasi tidak bisa hanya dipertahankan melalui ritual pemilu, reshuffle, atau kompromi politik antar-elit. Demokrasi sejati hanya akan hadir jika prinsip check and balance berjalan secara efektif, dengan legislatif berfungsi sebagai pengawas sejati, bukan sekadar ornamen politik. Jika tidak, demokrasi kita akan terus berjalan sebagai “demokrasi prosedural” yang rapuh, di mana rakyat hanya menjadi penonton, sementara panggung utama dipenuhi oleh aktor-aktor partai yang berorientasi pada kekuasaan.

Reshuffle kabinet yang terjadi kemarin harus menjadi alarm peringatan. Presiden perlu memperhatikan secara serius emosional politik antara eksekutif dan legislatif, serta memastikan pengawasan berjalan utuh. Jika tidak, maka kepercayaan rakyat terhadap demokrasi akan semakin tergerus, dan bangsa ini hanya akan mewarisi demokrasi yang formal, tanpa substansi.

Dzikri Abazis Subekti, S.H., M.H.

Penulis adalah Dosen STAI Al Badar Cipulus, Purwakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *