Harapan itu kini berubah menjadi kekecewaan mendalam. Sedikitnya 30 hingga 50 orang menjadi korban dugaan penipuan program tenaga kerja ke Jepang, dan kemungkinan masih banyak lainnya yang belum berani bersuara. Mereka yang bercita-cita mengubah nasib dengan bekerja di luar negeri kini justru kehilangan uang, waktu, dan kepercayaan terhadap sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka.
Kasus yang diduga melibatkan LPK Azumy Gakuin Center Purwakarta ini menjadi bukti bahwa hukum di negeri ini masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Para korban telah melaporkan kejadian ini ke pihak berwenang, tetapi bukan kejelasan yang mereka dapatkan – malah sebaliknya, penyelidikan tiba-tiba mandek tanpa alasan yang jelas.
Di mana keadilan bagi mereka yang kehilangan segalanya? Mengapa hukum justru berpihak pada mereka yang diduga sebagai pelaku?
Janji Manis yang Berujung Petaka
Program yang ditawarkan awalnya terdengar meyakinkan. Dengan membayar antara Rp10 juta hingga Rp20 juta, peserta dijanjikan pelatihan selama beberapa bulan sebelum diberangkatkan ke Jepang. Namun, realitasnya jauh berbeda dari ekspektasi. Pelatihan yang dijanjikan berlangsung empat bulan anehnya baru berjalan tiga minggu sudah diminta uang lagi dengan alasan kontrak.
Peserta bahkan diminta menandatangani kontrak dalam bahasa Jepang tanpa kejelasan apakah mereka benar-benar lolos seleksi. Setelah menunggu berbulan-bulan, tak satu pun dari mereka diberangkatkan – kecuali anak dari pelaku sendiri.
Ketika korban mulai menuntut kepastian, mereka hanya mendapat jawaban berputar-putar. Uang yang telah disetorkan tak kunjung dikembalikan, bahkan ada korban yang dipaksa berutang kepada rentenir untuk melunasi pembayaran.
Ketidakadilan yang Dibiarkan
Secara hukum, kasus ini seharusnya ditangani dengan tegas. Beberapa regulasi yang dilanggar antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Menempatkan tenaga kerja tanpa izin bisa dipidana hingga 10 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Setiap lembaga penyalur tenaga kerja ke luar negeri wajib memiliki izin resmi.
3. Pasal 372 dan 378 KUHP. Penggelapan dan penipuan bisa dikenai hukuman penjara hingga 4 tahun.
Namun, meskipun ada regulasi yang jelas, laporan para korban seolah tak mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum.
Mengapa Kasus Ini Seakan Dihentikan?
Pertanyaan besar yang muncul: Mengapa kasus ini terhenti begitu saja? Jika rakyat kecil yang melakukan kesalahan, hukum bisa bertindak cepat. Namun, ketika rakyat kecil menjadi korban, mengapa justru prosesnya berjalan lambat, bahkan seolah dihentikan?
Apakah ada kepentingan tertentu yang bermain? Apakah ada pihak yang sengaja melindungi pelaku? Para korban kini merasa seakan melawan tembok tebal yang tak bisa ditembus. Mereka yang awalnya percaya pada jalur hukum kini mulai mempertanyakan: Apakah hukum benar-benar melindungi mereka?
Keadilan Harus Ditegakkan
Kasus ini adalah bukti nyata bahwa keadilan masih sulit didapat oleh mereka yang tidak punya kuasa. Jika hukum terus berpihak pada mereka yang memiliki kekuatan dan koneksi, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan semakin terkikis.
Keadilan tidak boleh menjadi barang langka. Negara ini tidak boleh terus membiarkan mereka yang berbuat salah melenggang bebas, sementara korban dibiarkan menanggung penderitaan sendirian.
Kita semua harus bertanya: Apakah kita rela hidup di negara di mana hukum hanya berpihak kepada mereka yang punya uang dan koneksi? Jika tidak, maka kita harus terus bersuara – agar keadilan tidak hanya menjadi milik segelintir orang.
Agus Sanusi, M.Psi
Penulis adalah Dosen dan Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta.