Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang merupakan hasil dari permohonan uji materiil terhadap Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), telah memicu perdebatan akademis yang signifikan terkait batasan kebebasan berekspresi dan regulasi delik aduan penghinaan dalam konteks hukum Indonesia.
Putusan ini, yang secara tegas menginterpretasikan frasa “orang lain” dalam pasal tersebut sebagai individu spesifik, bukan entitas publik seperti pemerintah atau lembaga negara, mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, termasuk praktisi hukum Azfar Cinaya, S.H.
Ia menilai putusan ini sebagai langkah progresif dalam memperkuat hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat dan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Namun, Azfar juga mengungkapkan adanya inkonsistensi normatif yang muncul sebagai konsekuensi dari putusan MK tersebut.
“Pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur delik penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah, dan lembaga negara, khususnya Pasal 218-219 dan Pasal 240-241, terlihat bertentangan dengan interpretasi MK atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE,” kata Azfar kepada awak media, Kamis (1/5/2025).
Lebih spesifik, lanjut Azfar batasan “orang lain” yang diputuskan MK menciptakan potensi konflik norma dan ketidakpastian hukum, karena potensi overlapping antara rumusan delik dalam UU ITE dan KUHP.
Berdasarkan analisis tersebut, Azfar mengajukan usulan untuk amandemen atau penghapusan pasal-pasal KUHP yang mengatur delik penghinaan terhadap pejabat negara.
Ia juga berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut, yang berpotensi menciptakan iklim chilling effect dan membatasi kebebasan berekspresi, tidak selaras dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi.
Penghapusan atau amandemen pasal-pasal tersebut dipandang sebagai langkah krusial untuk menciptakan kepastian hukum, memperkuat rule of law, dan memperkokoh jaminan kebebasan berekspresi di Indonesia.
“Hal ini selaras dengan semangat putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang menekankan pentingnya perlindungan hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat dan kritik, selama tidak melanggar ketentuan hukum lainnya,” demikian Azfar Cinaya.








