taktis.co – Laporan Realisasi Anggaran (LRA) APBD Kabupaten Purwakarta Tahun Anggaran 2025 mengungkapkan kondisi yang memprihatinkan terkait Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan Perubahan APBD, target PAD ditetapkan sebesar Rp810,79 miliar, namun hingga 20 Desember 2025 hanya terealisasi sebesar Rp679,61 miliar atau 83,82 persen. Hal ini berarti terdapat selisih Rp131,18 miliar potensi pendapatan yang gagal dicapai.
Namun, angka agregat ini ternyata menutupi fakta yang jauh lebih serius ketika ditelusuri berdasarkan jenis pendapatan. Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta, Agus M. Yasin, menyatakan bahwa rincian target dan realisasi PAD menunjukkan ketimpangan ekstrem dan anomali tata kelola yang membutuhkan perhatian mendesak.
Pertama, terkait Pajak Daerah yang menjadi komponen terbesar PAD dengan target Rp529,09 miliar, realisasi hanya mencapai Rp437,11 miliar atau 82,6%. Hal ini menyisakan lebih dari Rp91 miliar potensi pajak daerah yang tidak tergarap, mengindikasikan kurangnya efektivitas dalam pengumpulan dan pengelolaan sumber daya ini.
Kedua, kondisi yang sebaliknya terjadi pada Retribusi Daerah. Dengan target Rp42,79 miliar, realisasi malah melonjak hingga Rp223,12 miliar atau lebih dari 500 persen dari target. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai rasionalitas penetapan target dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengantisipasi lonjakan pendapatan yang tidak terduga dalam perencanaan anggaran.
Sementara itu, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan menunjukkan kondisi yang relatif stabil, meskipun belum mencapai target. Dengan target Rp7,64 miliar, realisasi mencapai Rp6,97 miliar atau sekitar 91,2 persen.
Yang paling mengkhawatirkan adalah pos “Lain-lain PAD yang Sah” dengan target Rp231,26 miliar, namun hanya terealisasi Rp13,41 miliar atau sekitar 5,8 persen. “Ini yang paling mengkhawatirkan, dengan capaian hanya sekitar 5,8 persen dari target. Selisihnya lebih dari Rp217 miliar, sebuah kegagalan besar dalam perencanaan dan eksekusi,” ujar Agus kepada awak media, belum lama ini.
Menurut Agus, kondisi ini, atau data hingga 20 Desember 2025, menunjukkan bahwa masalah PAD Purwakarta bukan sekadar angka 83,82 persen, melainkan ketidakwajaran struktur target dan lemahnya kendali fiskal.
“Ketika satu pos PAD melampaui target secara ekstrem, sementara pos lain nyaris kolaps, maka patut diduga terjadi perencanaan asal-asalan, target politis, atau minimnya keseriusan pengawasan,” katanya.
Lebih berbahaya lagi, ketimpangan ini berpotensi berdampak langsung pada belanja daerah. Jika belanja tetap dipaksakan tanpa dukungan PAD yang sehat, maka risiko tunda bayar, rasionalisasi program, dan temuan tidak sesuai dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi nyata. “Dalam situasi ini semestinya DPRD Purwakarta wajib bertindak, bukan hanya menonton seperti tidak merasa sebenarnya turut andil,” tegasnya.
Fungsi pengawasan DPRD tidak boleh berhenti pada pengesahan laporan, tetapi harus diwujudkan dengan melakukan evaluasi terbuka terhadap Otoritas Perangkat Daerah (OPD) yang menjadi penopang PAD. Hal ini termasuk membongkar kembali dasar penyusunan target PAD Perubahan APBD TA 2025 dan menelusuri kegagalan realisasi pos “Lain-lain PAD yang Sah” yang nyaris nol.
Pemerintah Daerah juga dituntut untuk bertanggung jawab penuh dan tidak mencari alasan. Publik berhak mengetahui siapa yang lalai, di mana kebocoran terjadi, dan mengapa perencanaan PAD menjadi begitu timpang. “APBD adalah uang rakyat, dan ketidakberesan PAD adalah ancaman langsung terhadap kualitas pelayanan publik. Tanpa langkah korektif yang tegas, APBD akan terus menjadi instrumen administratif semata, bukan alat keadilan fiskal bagi masyarakat,” kata Agus.
Intinya, PAD adalah tulang punggung kemandirian daerah. Ketika PAD dikelola secara timpang dan tidak akuntabel, maka yang dikorbankan bukan hanya angka di atas kertas, melainkan hak publik atas pelayanan dan pembangunan yang berkeadilan.***








