Mutasi Pejabat di Purwakarta: Antara Merit Sistem Atau Titipan Dua Kekuatan di Luar Sistem?

Ilustrasi/AI

taktis.co – Mutasi, rotasi, dan promosi jabatan struktural eselon III dan IV di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta menuai sorotan publik. Bukan semata karena frekuensi pergeseran jabatan yang relatif cepat, tetapi karena munculnya kejanggalan serius pada aspek kompetensi, kesesuaian rekam jejak, hingga transparansi proses.

Di ruang publik dan di internal birokrasi, berkembang pula isu liar tentang adanya dominasi dua kekuatan non-formal yang diduga memiliki pengaruh besar terhadap arah kebijakan kepegawaian daerah. Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta, Agus M. Yasin berkomentar, meski belum terbukti secara yuridis, isu ini tidak bisa diabaikan begitu saja karena indikator administratif dan pola mutasi menunjukkan anomali yang sarat dengan patologi dan intervensi.

Menurutnya, secara normatif, pengisian jabatan ASN wajib tunduk pada sistem merit, sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, dan PP No. 11 Tahun 2017 jo. PP No. 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS.

“Prinsip merit sistem menuntut kesesuaian kompetensi teknis, manajerial, dan sosial kultural. Rekam jejak kinerja dan integritas, serta penilaian objektif melalui mekanisme yang terukur,” kata Kang Agus, kepada awak media, Rabu, 24 Desember 2025.

Namun, pada prakteknya muncul sejumlah indikasi yang mengkhawatirkan. Pejabat yang dipromosikan tidak memiliki latar belakang teknis yang relevan dengan jabatan barunya. Kasus serupa juga pernah tercatat pada tahun-tahun sebelumnya, dimana pegawai dengan latar belakang kesehatan ditempatkan di dinas pemadam kebakaran, yang dinilai tidak sesuai kualifikasi dan kinerja masing-masing.

Selain itu, pejabat berprestasi justru dimutasi ke posisi non-strategis, dan rotasi dilakukan dalam waktu diulur tanpa argumentasi kinerja yang jelas. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah penilaian kompetensi benar-benar menjadi dasar, atau hanya formalitas administratif?

Bayang-bayang Dua Kekuatan di Luar Sistem?

Kang Agus mengungkapkan beredar isu yang paling sensitif namun sepertinya sulit untuk dibantah soal dugaan adanya dua pusat kekuatan non-struktural yang memengaruhi kebijakan mutasi dan promosi.

“Ciri-ciri yang terindikasi, pejabat tertentu ‘aman’ dari mutasi meski kinerjanya dipersoalkan. Pejabat yang bukan loyalis, ‘dipindahkan’ meski tidak memiliki catatan pelanggaran dan kinerja buruk. Bahkan kabarnya, karena kecewa, bupati juga enggan menghadiri pelantikan para pejabat yang dimutasi?” kata Kang Agus.

Konkretnya, loyalitas personal, kedekatan, kekerabatan, dan faktor finansial diduga lebih menentukan dibanding profesionalisme. Ini sejalan dengan dugaan praktik nepotisme dan politisasi yang muncul pada tahun 2024, di mana seorang ASN yang pernah mengajukan gugatan terhadap keputusan bupati terkait mutasi justru mendapatkan promosi, serta ketimpangan mutasi pejabat yang diduga terkait titipan pihak tertentu.

“Jika benar terjadi, maka kondisi ini bertentangan langsung dengan Pasal 3 dan Pasal 9 UU ASN terkait netralitas dan profesionalitas ASN. Serta larangan intervensi politik dan kepentingan pribadi dalam manajemen ASN,” ujar Kang Agus.

Pasal 3 UU No. 5 Tahun 2014 menetapkan bahwa ASN berlandaskan pada prinsip kompetensi, profesionalitas, dan integritas, sedangkan Pasal 9 melarang ASN terlibat dalam aktivitas yang melanggar netralitas atau dipengaruhi oleh kepentingan pribadi.

Isu ini meski masih bersifat dugaan, namun menjadi alarm serius bagi kesehatan birokrasi daerah. Mutasi dan promosi para pejabat administrator dan pejabat pengawas yang menyimpang dari sistem merit berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum dan administrasi.

Lebih jauhnya, birokrasi yang dikelola secara transaksional akan melemahkan kinerja organisasi, menurunkan kepercayaan publik, dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang di sektor lain, seperti penganggaran, perizinan, bahkan kegiatan proyek.

Siapa yang Bertanggung Jawab dan Harus Menerima Konsekuensi

Menurut Kang Agus, dalam tata kelola ASN, tidak ada ruang abu-abu soal tanggung jawab. Jika mutasi, rotasi, dan promosi eselon III dan IV di lingkungan Pemda Purwakarta terbukti menyimpang dari prinsip sistem merit, sarat intervensi, dan penuh kejanggalan, maka terdapat rantai tanggung jawab yang jelas dan berlapis.

“Antara lain, Bupati bertanggung jawab penuh secara struktural. Sekda dan BKPSDM bertanggung jawab secara teknis dan administratif, serta tim penilai yang bertanggung jawab secara etik,” ujarnya.

Mutasi, rotasi, dan promosi jabatan bukan sekadar soal “siapa ditempatkan di mana”. Tetapi menyangkut masa depan birokrasi, dan kualitas pelayanan publik. Jika benar terdapat dominasi kekuatan di luar sistem, maka yang terancam bukan hanya ASN, melainkan legitimasi pemerintahan daerah itu sendiri.

“Purwakarta membutuhkan birokrasi yang profesional, berani, dan bebas dari bayang-bayang kekuasaan gelap, bukan ASN yang hanya pandai membaca arah angin kekuasaan. Tidak boleh ada narasi bahwa semua ini ‘hanya dinamika birokrasi’. Jika sistem dirusak dari dalam, konsekuensi hukum dan politik harus ditegakkan,” demikian Kang Agus.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *