taktis.co – Keterlibatan aparat keamanan dalam merespons keluhan warga terkait Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai sorotan dari masyarakat sipil. Koordinator Pemantau Lapangan Gerakan Kawal MBG, Merry M Velly, menegaskan bahwa kritik terhadap layanan publik bukanlah tindak pidana dan tidak semestinya direspons dengan mendatangi warga bersama aparat berseragam.
Menurut Merry, keluhan yang disampaikan warga khususnya orang tua murid merupakan bentuk partisipasi publik yang sah dan penting dalam pengawasan layanan negara. “Apa urusannya dengan aparat mendatangi warga yang menyampaikan kritik? Kritik terhadap layanan publik bukan tindak pidana,” kata Merry dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu, 20 Desember 2025.
Ia menilai, apabila terdapat laporan atau keluhan yang dianggap tidak sesuai atau perlu diluruskan, mekanisme klarifikasi seharusnya dilakukan secara terbuka, proporsional, dan transparan. Bukan dengan mendatangi warga menggunakan aparat keamanan yang justru berpotensi menimbulkan tekanan psikologis.
“Jika ada hal yang dianggap keliru atau perlu diluruskan, cukup diklarifikasi secara terbuka melalui media. Bukan dengan mendatangi warga menggunakan aparat yang justru menimbulkan rasa takut,” ujarnya.
Merry mengingatkan bahwa pola semacam ini berisiko menciptakan chilling effect atau efek gentar di tengah masyarakat. Akibatnya, warga memilih diam dan enggan menyampaikan kritik, meskipun menyangkut kepentingan publik, termasuk kesehatan dan keselamatan anak-anak sebagai penerima manfaat program MBG.
“Kalau warga takut bicara, maka fungsi pengawasan publik mati. Padahal, keberhasilan program seperti MBG sangat bergantung pada keterbukaan terhadap kritik dan masukan dari masyarakat,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa kritik warga tidak boleh dipersepsikan sebagai bentuk penolakan terhadap program pemerintah. Justru sebaliknya, masukan tersebut merupakan upaya korektif agar pelaksanaan program berjalan sesuai tujuan dan standar yang telah ditetapkan. “Warga yang mengkritik itu bukan musuh negara. Mereka justru sedang menjalankan peran sebagai pengawas sosial,” tambah Merry.
Selain dinilai tidak proporsional, keterlibatan aparat keamanan dalam merespons kritik warga juga berpotensi mengandung dugaan pelanggaran hukum dan etika institusional. Secara normatif, tugas kepolisian dan TNI dibatasi pada fungsi keamanan, pertahanan, serta penegakan hukum tertentu. Keterlibatan mereka dalam proses klarifikasi keluhan layanan publik, yang tidak mengandung unsur pidana maupun ancaman keamanan, dapat dipandang melampaui kewenangan dan menyimpang dari prinsip supremasi sipil dalam negara demokratis.
Dalam konteks kepolisian, tindakan mendatangi warga yang menyampaikan kritik tanpa adanya laporan pidana, surat pemanggilan resmi, atau dasar hukum yang jelas berpotensi bertentangan dengan prinsip due process of law serta asas profesionalitas dan proporsionalitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sementara itu, keterlibatan personel TNI dalam urusan non-pertahanan sipil juga berpotensi tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang secara tegas membatasi peran TNI di luar fungsi pertahanan negara.
Lebih jauh, apabila kehadiran aparat tersebut menimbulkan rasa takut, tekanan psikologis, atau mendorong warga untuk meminta maaf atas kritik yang disampaikannya, maka kondisi tersebut berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara atas kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perspektif hak asasi manusia, tindakan negara termasuk aparatnya yang menimbulkan efek gentar dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan tidak langsung terhadap kebebasan sipil.
Gerakan Kawal MBG menilai, jika praktik semacam ini dibiarkan tanpa evaluasi dan koreksi, maka akan terbentuk preseden berbahaya dalam pengelolaan program publik: kritik diperlakukan sebagai ancaman, dan warga sebagai objek pengamanan. Padahal, dalam negara hukum demokratis, aparat seharusnya menjadi pelindung hak warga negara, bukan instrumen yang justru membungkam partisipasi publik.
Selain aparat keamanan, perspektif pelaksana program MBG juga perlu diperhatikan. Kata Merry, banyak pelaksana mungkin menghadapi tekanan dari atasan untuk menjaga “ketenangan” dan menghindari kontroversi, yang berpotensi membuat mereka memilih pendekatan yang kurang tepat.
Namun, pelaksana seharusnya dilatih untuk melakukan komunikasi konstruktif dengan warga, termasuk menangani kritik dengan cara yang memecahkan masalah bukan menekan. Hal ini tidak hanya melindungi warga tetapi juga membantu pelaksana meningkatkan kualitas pelayanan tanpa takut akan konsekuensi yang tidak perlu.
Peran Media dan Masyarakat Sipil Sebagai Penjangkau
Media dan lembaga masyarakat sipil memiliki peran penting dalam menyeimbangkan informasi dan mencegah terjadinya efek gentar. Mereka dapat berperan sebagai perantara antara warga dan pemerintah, menyebarkan kritik secara terkontrol dan memfasilitasi proses klarifikasi yang terbuka. Selain itu, media juga dapat memantau apakah mekanisme penanganan keluhan yang ada berjalan sesuai aturan, sehingga mencegah terulangnya praktik keterlibatan aparat dalam urusan non-keamanan.
Keterlibatan aparat dalam merespons kritik layanan publik memiliki dampak jangka panjang pada kepercayaan warga terhadap pemerintah. Ketika warga merasa tidak aman menyampaikan masukan, hubungan antara negara dan masyarakat akan memburuk.
Hal ini berpotensi mengurangi partisipasi publik dalam berbagai program pemerintah lainnya, tidak hanya MBG, yang pada gilirannya menurunkan efektivitas kebijakan publik secara keseluruhan. Dalam negara demokratis, kepercayaan masyarakat adalah fondasi keberhasilan pemerintahan.
Sebelum memutuskan menggunakan aparat, perlu diperiksa apakah mekanisme penanganan keluhan yang resmi sudah berjalan. Di banyak daerah, terdapat kanal seperti layanan aspirasi warga, bupati atau pihak dinas terkait yang dapat dihubungi, atau lembaga pengawas masyarakat. Jika mekanisme ini tidak berfungsi optimal atau tidak dikenal oleh warga, maka pemerintah harus melakukan perbaikan dan sosialisasi agar warga memiliki akses yang mudah untuk menyampaikan keluhan tanpa takut.
Kasus Desa Salem, Purwakarta
Sorotan ini mencuat setelah seorang warga Desa Salem mengaku didatangi oleh pihak Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) bersama aparat keamanan usai menyampaikan keluhan terkait dugaan menu MBG yang tidak layak konsumsi.
Warga tersebut mengaku diminta melakukan klarifikasi hingga diarahkan untuk menyampaikan permintaan maaf di dapur penyedia makanan, situasi yang menurut pengakuannya menimbulkan tekanan psikologis.
Gerakan Kawal MBG mendorong agar pemerintah dan pelaksana program menjadikan kritik warga sebagai bahan evaluasi terbuka dan perbaikan sistemik, bukan sebagai persoalan yang direspons dengan pendekatan keamanan.
Hingga berita ini diturunkan, belum terdapat keterangan resmi dari pihak SPPG maupun aparat keamanan terkait dasar, tujuan, dan mekanisme keterlibatan mereka dalam proses klarifikasi tersebut. Redaksi membuka ruang klarifikasi dan hak jawab bagi seluruh pihak yang disebutkan dalam pemberitaan ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku.***








