Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta saat ini menghadapi permasalahan serius terkait utang jangka pendek yang mencapai Rp144,9 miliar. Menurut Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta, Agus M. Yasin, persoalan ini bukan sekadar catatan akuntansi, melainkan telah menjadi indikasi lemahnya tata kelola keuangan daerah dan potensi pelanggaran hukum dalam pengelolaan anggaran publik.
Dalam laporan keuangan terakhir, Pemkab Purwakarta mengakui utang jangka pendek sebesar Rp144.948.064.367,00. Nilai tersebut mencakup kewajiban terhadap berbagai pihak ketiga, mulai dari penyedia barang dan jasa, proyek konstruksi, hingga beban operasional yang tertunda pembayarannya.
Komponen Utang Jangka Pendek Pemkab Purwakarta TA 2024 meliputi:
– Utang kepada pihak ketiga atas belanja modal dan barang/jasa, termasuk kontrak pekerjaan fisik dan jasa konsultansi yang belum terbayar sebesar Rp79.213.278.951,00.
– Utang bunga dan kewajiban lain yang belum direalisasikan, yang merupakan beban bunga, sewa, dan jasa pinjaman daerah sebesar Rp12.654.785.416,00.
– Utang lain-lain yang jatuh tempo dalam tahun berjalan, meliputi kewajiban operasional dan pembayaran pihak rekanan sebesar Rp53.079.999.999,00.
Agus M. Yasin menyatakan bahwa sumber utama persoalan ini diduga berasal dari anggaran belanja yang tidak terukur dan perencanaan keuangan yang tidak realistis. Banyak program disusun tanpa proyeksi kas yang rasional, bahkan di beberapa kasus belanja modal dan operasional berjalan lebih cepat dibandingkan realisasi pendapatan daerah.
Diduga pula adanya patologi kebijakan fiskal yang timbul, di mana keputusan-keputusan anggaran lebih didorong oleh kepentingan politis jangka pendek dibandingkan prinsip kehati-hatian (prudential fiscal management). Dampaknya, APBD menjadi instrumen defisit terselubung, dan utang daerah menjadi solusi darurat yang terus diulang. Ketika pengeluaran dibiarkan melampaui kemampuan kas, pemerintah daerah mempertaruhkan kredibilitas fiskalnya sendiri.
Dari Keterlambatan Administratif ke Potensi Pelanggaran Hukum
Secara hukum, penundaan pembayaran utang daerah tanpa alasan yang sah dapat masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum administrasi, bahkan penyalahgunaan kewenangan. Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebutkan bahwa pejabat yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain menyalahgunakan kewenangan hingga menimbulkan kerugian keuangan negara dapat dipidana.
Jika ditemukan unsur manipulasi anggaran, pengalihan dana tanpa dasar hukum, atau rekayasa laporan keuangan untuk menutupi defisit, maka tanggung jawab hukum menjadi nyata. “Selain itu, rekanan atau pihak ketiga yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata (wanprestasi) karena pemerintah daerah gagal memenuhi kewajiban kontraktual tepat waktu. Bahkan, pejabat penandatangan SP2D bisa dimintai pertanggungjawaban pribadi (personal liability) apabila menandatangani transaksi tanpa dukungan kas yang cukup,” kata Kang Agus.
Maladministrasi dan Krisis Kepercayaan Publik
Penundaan utang yang berulang juga berpotensi menjadi maladministrasi karena mencerminkan ketidakmampuan struktural dalam pengelolaan fiskal daerah. Dalam konteks tata kelola pemerintahan, persoalan ini akan menjadi celah yang terbuka untuk menjadi lahan pemeriksaan, terutama bila ditemukan indikasi pelanggaran prosedur dan penyalahgunaan anggaran, termasuk penyimpangan kebijakan yang terjadi.
Krisis kepercayaan publik terhadap pengelolaan APBD Purwakarta bisa semakin dalam apabila tidak ada langkah korektif yang tegas dan transparan. Setiap rupiah dalam APBD adalah uang publik, bukan ruang eksperimen kebijakan yang gagal diukur.
Utang yang terus ditunda tanpa koreksi kebijakan adalah tanda bahwa sistem fiskal daerah sedang sakit. Ini bukan lagi isu akuntansi, tetapi degradasi etika penyelenggaraan tata kelola keuangan daerah.
“Pemkab Purwakarta perlu segera melakukan audit internal mendalam atas seluruh komponen utang daerah dan menyajikan laporan keterbukaan publik terkait siapa penerima manfaat, nilai utang, dan rencana pelunasannya. Langkah ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik, sekaligus menghindari tuduhan penyalahgunaan keuangan daerah. Jika tidak ada transparansi dan reformasi fiskal, Purwakarta akan terus hidup di bawah bayang-bayang defisit struktural dan risiko hukum yang semakin besar,” beber Kang Agus.
Kasus penundaan berulang utang daerah bukan sekadar soal keterlambatan pembayaran, tetapi cermin dari tata kelola keuangan yang tidak sehat. Ketika prinsip kehati-hatian diabaikan dan kebijakan anggaran dijalankan tanpa disiplin fiskal, maka krisis keuangan daerah hanya menunggu waktu untuk berubah menjadi krisis hukum.








