Opini  

Militerisasi Pelajar Bermasalah: Solusi Palsu untuk Masalah Nyata?

©Hak cipta gambar diatas dikembalikan seluruhnya kepada pemilik gambar.

Wacana menjadikan barak militer sebagai tempat pembinaan bagi pelajar bermasalah kembali mengemuka. Kali ini, disuarakan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dan sayangnya malah direspon aktivis muda, Aa Komara yang mendesak agar daerah ini (Kabupaten Purwakarta) menjadi prioritas dalam program “wajib militer” yang diwacanakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ia berdalih bahwa ini adalah jawaban atas darurat kriminalitas remaja. Sayangnya, ini adalah contoh klasik solusi instan yang keliru sasaran.

Militerisasi bukan jawaban atas krisis sosial. Menempatkan anak muda yang sedang tumbuh dan mencari jati diri dalam lingkungan militer yang kaku dan berorientasi komando adalah bentuk kegagalan memahami akar masalah. Kenakalan remaja bukan sekadar soal kurang disiplin, tetapi cermin dari kegagalan lingkungan—keluarga, sekolah, dan negara—dalam menyediakan ruang tumbuh yang sehat.

Saya tidak menampik bahwa keresahan masyarakat terhadap kenakalan remaja itu nyata. Namun solusi berbasis pendekatan militeristik—yang menempatkan anak-anak bermasalah di barak militer—bukan hanya keliru secara psikologis, tapi juga berbahaya secara sosial.

Perilaku menyimpang pada remaja tidak muncul dalam ruang hampa. Ia lahir dari relasi yang retak: antara anak dan orang tua, anak dan sekolah, anak dan lingkungannya. Memaksa mereka tunduk melalui disiplin militer bukan jawaban, melainkan bentuk baru dari represi yang bisa memupuk perlawanan dalam diam.

Sebagai seseorang yang juga berkecimpung dalam studi perkembangan manusia, saya lebih percaya pada pendidikan berbasis pemahaman, bukan ketakutan. Kita butuh sistem pendampingan yang empatik, ruang konseling yang mudah diakses, dan lingkungan belajar yang merangkul, bukan menghakimi.

Bruce D. Perry, ahli neurologi perkembangan anak, menulis dalam The Boy Who Was Raised as a Dog bahwa anak-anak yang mengalami trauma justru membutuhkan hubungan yang aman dan penuh empati, bukan hukuman yang keras.[1] Menghadapkan mereka pada disiplin militer bisa memperdalam luka psikologis, menciptakan alienasi, dan memperburuk perilaku yang sudah menyimpang.

Laporan UNICEF (2021)[2] juga menyatakan bahwa pendekatan pendidikan berbasis perlindungan—yang menciptakan rasa aman dan keterlibatan emosional—jauh lebih efektif dalam membentuk karakter dan mencegah kekerasan di kalangan remaja. Sementara itu, studi Santrock (2019)[3] menunjukkan bahwa perilaku bermasalah pada remaja seringkali merupakan respons terhadap lingkungan yang tidak suportif, bukan sekadar akibat “kurang disiplin”.

Kita juga harus mencermati konteks politik di balik wacana seperti ini. Di tengah kegelisahan publik, usulan-usulan keras seringkali mendapat tepuk tangan cepat. Tapi populisme kebijakan yang bertumpu pada hukuman justru berisiko tinggi: ia mengorbankan masa depan anak-anak kita demi citra ketegasan semu. Kita wajib menolak segala bentuk populisme kebijakan yang justru merusak masa depan generasi muda.

Jika negara hadir, maka biarlah ia hadir sebagai pengasuh, bukan penghukum. Jangan biarkan rasa frustrasi kita sebagai orang dewasa mengaburkan cara kita memperlakukan generasi penerus. Jangan karena ingin “menertibkan”, lalu kita kehilangan kepekaan.

Jawa Barat, khususnya Purwakarta tidak butuh barak militer untuk menyelamatkan remajanya. Yang kita butuhkan adalah sekolah yang ramah anak, guru yang terlatih dalam pendekatan sosial-emosional, konselor yang tersedia di tiap kecamatan, dan komunitas yang hadir bukan hanya saat ada masalah.

Kita tidak akan menyelesaikan masalah sosial dengan sepatu lars. Karena membentuk manusia bukan soal menaklukkan, tetapi membimbing.

Catatan Kaki:
[1] Perry, B.D. (2006). The Boy Who Was Raised as a Dog. Basic Books. Perry adalah pengembang Neurosequential Model of Therapeutics (NMT), yang digunakan secara luas dalam penanganan trauma anak.
[2] UNICEF. (2021). Learning through Play: Strengthening Learning through Protection and Well-being.
[3] Santrock, J. W. (2019). Adolescence. McGraw-Hill Education.

Agus Sanusi, M.Psi

Penulis adalah aktivis pada Lembaga Kajian Publik Analitika Purwakarta dan Alumni Magister Psikologi Universitas Padjadjaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *