Opini  

Ketika Lembaga Dewan yang Terhormat Dicatut Rekrutmen Tenaga Kerja Outsourcing

Gedung DPRD Purwakarta/Net.

Di Kabupaten Purwakarta, menjadi tenaga outsourcing di lingkungan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bukanlah proses yang transparan dan mudah. Alih-alih seleksi yang ketat, rekrutmen outsourcing di Sekretariat DPRD (Setwan) selama bertahun-tahun berlangsung secara tertutup dan tidak terlacak.

Tidak ada pengumuman resmi, tidak ada seleksi terbuka, dan semuanya dilakukan secara senyap. Kegelapan sistem inilah yang menciptakan celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan.

Baru-baru ini, dugaan kasus penipuan dengan modus penawaran pekerjaan outsourcing di lingkungan DPRD menggegerkan warga Purwakarta. Korban dijanjikan posisi kerja oleh seseorang yang mengaku memiliki koneksi “orang dalam” di DPRD Purwakarta. Akibatnya, korban kehilangan uang belasan juta rupiah tanpa mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan.

Meskipun bukan kasus yang pertama kali terjadi, peristiwa ini tetap menyakitkan dan memprihatinkan karena nama lembaga negara ikut dicatut dalam aksi penipuan tersebut.

Pelaku penipuan dalam kasus ini mengklaim memiliki koneksi dengan Setwan dan anggota DPRD. Benar atau tidaknya klaim tersebut masih dipertanyakan, namun yang jelas, nama institusi negara digunakan sebagai alat untuk menipu masyarakat.

Celah ini muncul karena minimnya transparansi dan sistem rekrutmen yang tidak terbuka. Ketiadaan jalur resmi dan informasi publik yang mudah diakses menciptakan ruang gelap yang jauh dari pengawasan publik.

Pertanyaan pun muncul: jika tidak ada proses rekrutmen resmi, bagaimana bisa ada tenaga outsourcing baru yang bekerja di Setwan? Dan jika semuanya dijalankan sesuai aturan, mengapa warga harus membayar sejumlah uang hanya untuk mendapatkan janji pekerjaan?

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi terkait rekrutmen tenaga kerja, seperti Perpres Nomor 12 Tahun 2021 dan Permendagri 59 Tahun 2007. Regulasi tersebut menekankan pentingnya rekrutmen melalui penyedia jasa resmi, penggunaan anggaran yang sah, dan pengawasan yang ketat. Namun, di lapangan, praktiknya seringkali berbeda dengan aturan yang tertulis.

Di banyak daerah, koneksi dan pemberian uang pelicin seringkali lebih berperan daripada kualifikasi dan surat lamaran. Kurangnya transparansi menyebabkan masyarakat dibohongi, negara dirugikan, dan oknum tertentu mendapatkan keuntungan.

Kerugian yang dialami korban tidak hanya sebatas materi. Kepercayaan publik terhadap DPRD sebagai lembaga negara juga tergerus. Bagaimana masyarakat bisa percaya kepada wakil rakyat jika nama institusi yang mereka wakili bisa dicatut seenaknya tanpa adanya klarifikasi dan tindakan tegas? Ketidakpedulian lembaga terhadap kasus ini dapat dianggap sebagai bentuk pembiaran.

Sudah saatnya Badan Kehormatan DPRD Purwakarta turun tangan untuk menyelidiki kasus ini secara tuntas. Jangan menunggu kasus ini viral di media sosial baru bertindak. Ketiadaan sanksi yang tegas akan menciptakan preseden buruk dan memungkinkan kasus serupa terus terulang.

Setwan Purwakarta juga harus bertanggung jawab dan memberikan penjelasan yang transparan kepada publik. Apakah selama ini memang ada tenaga outsourcing? Berapa jumlahnya? Bagaimana proses rekrutmennya? Apa dasar hukumnya? Dan mengapa informasi tersebut tidak bisa diakses oleh publik?

Indonesia membutuhkan birokrasi yang jujur dan transparan, bukan hanya rapi di atas kertas. Wakil rakyat harus menjaga nama baik lembaga yang mereka wakili dan mencegah penyalahgunaan nama tersebut untuk kepentingan pribadi.

Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui siapa yang direkrut, bagaimana proses rekrutmennya, dan mengapa proses tersebut selalu tertutup. Selama ruang gelap masih dibiarkan, maka siapa pun dapat memanfaatkannya untuk kepentingan yang tidak terpuji.

Dede Mulyadi

Penulis adalah aktivis pada Lembaga Kajian Kebijakan Publik Analitika Purwakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *