Saya selalu percaya, bahwa rencana pembangunan daerah seharusnya tidak sekadar dokumen teknokratik yang penuh angka dan istilah kebijakan. Ia adalah cermin dari harapan masyarakat.
Tapi saat saya membaca Ranwal RPJMD Kabupaten Purwakarta 2025–2029, saya merasa seperti melihat kerangka rumah yang rapi tapi belum ada isinya. Tersusun, tapi dingin. Lengkap, tapi jauh dari hangatnya realita masyarakat.
Mari saya ceritakan sedikit kenapa saya sampai merasa begitu. Pemerintah pusat memberi batas enam bulan bagi kepala daerah baru untuk menyusun RPJMD. Dan ya, Ranwal Purwakarta ini tampaknya cukup disiplin soal itu. Proses dimulai Januari, ditargetkan selesai Agustus. Di atas kertas, semua sesuai jadwal.
Tapi saya bertanya-tanya, kenapa tidak ada pembahasan soal tim transisi?
Dalam banyak kasus, transisi dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya sering menyisakan kekosongan. Jika tidak dipersiapkan sejak awal, program yang seharusnya bisa langsung berjalan justru malah tertahan. Tim transisi bukan sekadar urusan teknis, tapi soal keberlanjutan. Soal menghormati apa yang telah dikerjakan, sambil membangun yang baru dengan lebih mantap.
Salah satu bagian yang membuat saya menarik napas agak panjang adalah daftar isu strategis dalam RPJMD ini. Lengkap sekali. Semua urusan dicantumkan. Tapi justru itu masalahnya. Saya tidak melihat keberanian untuk memilah. Mana yang darurat? Mana yang bisa ditunda? Apa yang jadi fokus utama?
Kalau semua masalah dianggap penting, kita sedang bicara tentang segalanya tapi tidak menyentuh apa pun. Saya tidak mengatakan isu-isu yang diangkat tidak penting. Tapi saya merindukan keberanian untuk bilang: “Di Purwakarta, lima tahun ke depan kita akan fokus di sini, titik.” Karena itulah yang nanti akan membedakan RPJMD ini dari sekadar laporan atau dokumen formal.
Saya juga belum menemukan nuansa lokal yang khas dalam dokumen ini. Apakah penyusunnya sempat ngobrol dengan buruh pabrik? Duduk bersama para petani di pinggir kampung? Atau berdiskusi dengan ibu-ibu kader posyandu yang tahu betul bagaimana rasanya pelayanan kesehatan di lapangan?
Mungkin sudah dilakukan, tapi belum terasa masuk ke dalam narasi kebijakan. Ranwal ini masih terdengar seperti suara dari balik meja, bukan suara dari warung kopi atau ruang kelas yang panas tanpa kipas.
Padahal, rencana pembangunan itu harusnya mengandung getaran warga. Bukan hanya data, tapi cerita. Bukan hanya program, tapi pemahaman tentang manusia di balik angka-angka itu.
RPJMD ini adalah tahap pertama dari 20 tahun pembangunan jangka panjang yang ditetapkan lewat RPJPD. Ini bukan permulaan biasa. Ini landasan. Tapi kalau fondasinya sendiri belum jelas akan ke mana, bagaimana kita bisa bicara tentang arah?
Saya belum melihat proyek unggulan atau langkah besar yang menandakan dimulainya perubahan. Tidak perlu yang mewah. Cukup satu atau dua terobosan yang terasa: entah itu reformasi layanan dasar, digitalisasi UMKM desa, atau perbaikan data penerima bantuan sosial. Hal-hal kecil yang punya dampak besar jika dijalankan serius.
Saya menulis ini bukan karena saya sinis. Justru karena saya peduli. Saya ingin Purwakarta punya RPJMD yang bukan cuma dipuji karena struktur, tapi dicintai karena dampaknya.
Dokumen ini punya potensi. Tapi potensi itu harus dihidupkan, dengan keberanian memilih, dengan ketegasan menyasar persoalan, dan yang paling penting: dengan mendengar lebih banyak suara dari luar ruang rapat. Karena pada akhirnya, rencana pembangunan bukan tentang pemerintah. Ia tentang kita semua. Tentang masa depan yang ingin kita bangun, bersama.***
Agus Sanusi, M.Psi
Penulis adalah Direktur Kerja Bareng Collaborative Hub, Pengamat Kebijakan Publik Purwakarta dan Litbang taktis.co.