Loncatan Wakil Bupati Purwakarta, Abang Ijo Hapidin, ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) setelah sebelumnya diusung Partai Demokrat dalam Pilkada 2024, telah memicu beragam interpretasi.
Beberapa pihak melihat kemiripannya dengan langkah politik Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka yang pernah meninggalkan partai pengusung, yaitu PDIP. Sementara yang lain melihatnya sebagai antitesis dari gaya politik Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Pengamat politik lokal, Agus M. Yasin, memberikan perspektif yang lebih bernuansa dalam menganalisis fenomena ini. Agus melihat persamaan antara langkah Abang Ijo dan Jokowi-Gibran terletak pada keputusan pragmatis untuk berpindah partai demi kepentingan dan peluang politik yang lebih besar.
“Baik Abang Ijo maupun Jokowi-Gibran menunjukkan ambisi politik yang kuat, mencari platform yang dianggap lebih menjanjikan untuk mencapai tujuan politik mereka,” ujarnya, kepada wartawan, Jumat (4/4/2025).
Namun, Agus menekankan perbedaan skala dan konteks. Jokowi dan Gibran adalah figur nasional dengan basis massa yang luas, sementara Abang Ijo beroperasi di level lokal. Perbedaan ini penting untuk memahami konsekuensi dan dampak dari keputusan politik masing-masing.
“Atau, bisa saja Abang Ijo adalah orang yang “disimpan” Jokowi di Jabar. Ini bisa dilihat dari partainya yang merupakan “milik” putra bungsu Jokowi? Analisa lainnya, bahwa jejaring Abang Ijo itu sampai Jokowi. Dia bukan pindah partai tapi diperintah Jokowi,” kata Kang Agus.
Sementara, perbandingan dengan Dedi Mulyadi, menurut Agus, lebih kompleks. Dedi Mulyadi dikenal dengan pendekatan politik yang organik dan berakar pada basis massa, menekankan hubungan jangka panjang dengan konstituennya.
Sebaliknya, langkah Abang Ijo tampak lebih pragmatis dan berorientasi pada strategi jangka pendek untuk meraih ambisi pribadinya. Dalam hal ini, langkah Abang Ijo dapat dilihat sebagai antitesis dari pendekatan politik Dedi Mulyadi yang lebih populis dan merakyat.
Namun, Agus mengingatkan agar tidak terjebak dalam penyederhanaan. Meskipun pendekatan politiknya berbeda, baik Abang Ijo maupun Dedi Mulyadi beroperasi dalam sistem politik yang sama, di mana dinamika partai, kepentingan politik, dan peluang elektoral tetap menjadi pertimbangan utama. “Perbedaannya terletak pada bagaimana mereka mendekati dan memanfaatkan faktor-faktor tersebut,” ujarnya.
Kesimpulannya, langkah politik Abang Ijo lebih tepat dipahami sebagai refleksi dari dinamika politik yang kompleks di Indonesia. Pragmatisme dan pertimbangan kepentingan politik memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat nasional maupun lokal.
“Perbandingan dengan Jokowi-Gibran dan Dedi Mulyadi memberikan perspektif yang lebih luas, namun penting untuk mengingat kekhasan konteks politik masing-masing figur dan wilayah. Dan langkah Abang Ijo merupakan bagian dari puzzle yang lebih besar, menunjukkan kompleksitas dan fluiditas politik di Indonesia,” demikian Kang Agus Yasin.***








