Mudik, sebagai tradisi tahunan di Indonesia, sering kali dipandang sebagai momen dengan penuh makna; kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga, merayakan hari raya hingga saling memaafkan. Namun, seiring berkembangnya zaman, mudik justru lebih sering menjadi ajang unjuk gigi sosial (pamer) bagi sebagian orang yang merantau.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak perantau yang menggunakan momen mudik sebagai ajang untuk “melaporkan” kesuksesan mereka dalam merantau, baik dari segi karier, materi, maupun status sosial.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran makna mudik yang seharusnya lebih mementingkan kebersamaan dan silaturahim menjadi suatu kompetisi sosial yang justru menambah tekanan bagi sebagian besar individu.
Mudik, yang seharusnya menjadi waktu untuk mempererat hubungan keluarga dan komunitas, sering kali berubah menjadi sebuah panggung untuk pamer keberhasilan. Dibanyak desa, perantau yang pulang sering kali dihadapkan pada harapan sosial untuk menunjukkan keberhasilan yang mereka capai selama merantau.
Laporan sukses ini tidak jarang diiringi dengan pemberian hadiah atau oleh-oleh yang berlebih, yang pada akhirnya berpotensi menumbuhkan kecemburuan sosial.
Fenomena ini sejalan dengan penelitian dari Purnama (2021), yang menyatakan bahwa mudik telah menjadi ajang untuk memperlihatkan status sosial, yang ironisnya malah menambah kesenjangan antara mereka yang dianggap sukses dan mereka yang tidak dapat pulang karena alasan ekonomi. Alih-alih mempererat hubungan keluarga, mudik justru bisa memperburuk rasa canggung antara anggota keluarga yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang berbeda.
Selain itu, dalam tradisi mudik juga terkandung nilai silaturahim yang sangat penting dalam masyarakat Indonesia. Silaturahim yang seharusnya terjalin melalui pertemuan yang tulus, sering kali dibayangi oleh ekspektasi yang berlebihan.
Sulaeman (2019) mengemukakan bahwa ekspektasi sosial yang berlebihan sering kali mempengaruhi kualitas silaturahim itu sendiri, karena banyak orang merasa terpaksa untuk datang dan memenuhi harapan orang lain, daripada datang dengan niat yang tulus untuk mempererat hubungan.
Dalam konteks ini, tradisi silaturahim bisa kehilangan esensinya dan berubah menjadi sekadar formalitas belaka. Keberadaan standar sosial yang tak terucapkan mengenai bagaimana seharusnya seseorang tampil atau memberi sesuatu dalam mudik, mengarah pada terjadinya tekanan sosial yang berlebihan.
Bermaaf-maafan, yang merupakan salah satu inti dari perayaan lebaran, juga semakin tergerus oleh komersialisasi tradisi ini. Saling memaafkan seharusnya menjadi momen untuk saling mengakui kesalahan dan memperbaiki hubungan, namun banyak orang kini merasa bahwa permintaan maaf ini harus dilakukan dengan cara yang “terlihat” atau sesuai dengan apa yang diharapkan.
Ini menciptakan ketegangan yang tidak sehat, di mana permintaan maaf bisa saja lebih berfokus pada tampilan luar ketimbang proses pemulihan hubungan yang sesungguhnya. Dalam banyak kasus, permintaan maaf yang dilakukan hanya sebatas formalitas, tanpa ada refleksi mendalam tentang hubungan yang sebenarnya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Taufik (2018), budaya bermaaf-maafan di Indonesia sering kali hanya dijalankan sebagai rutinitas, tanpa memperhatikan aspek introspektif yang seharusnya menjadi bagian dari proses penyembuhan sosial.
Dengan adanya tradisi mudik, dapat disimpulkan yang seharusnya menjadi waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan mempererat silaturahim, kini justru banyak dipengaruhi oleh tekanan sosial yang berlebihan. Momen ini, yang sebelumnya penuh makna, menjadi ajang pamer status dan berhasil merantau, bukan lagi sebuah kesempatan untuk saling memahami dan mendekatkan diri.
Tradisi bermaaf-maafan pun kini lebih sering dilakukan dengan sekadar memenuhi ekspektasi sosial, ketimbang sebuah upaya nyata untuk memperbaiki hubungan antarindividu. Sebuah perbaikan dalam pemaknaan tradisi ini sangat diperlukan, agar mudik bisa kembali menjadi momen yang murni untuk mempererat hubungan keluarga tanpa dibebani oleh tuntutan sosial yang tidak perlu.
Yuslipar
Penulis adalah Wartawan di Purwakarta.