Opini  

No Viral No Justice: Bukti Birokrasi Purwakarta Perlu Dirombak?

©Hak cipta gambar diatas dikembalikan seluruhnya kepada pemilik gambar.

Birokrasi yang lamban dan berbelit bukan hal baru di Indonesia, termasuk di Purwakarta. Sudah menjadi rahasia umum bahwa urusan administrasi sering kali berjalan lebih cepat jika ada “dorongan ekstra”, baik dalam bentuk tekanan publik maupun jalur khusus yang tidak semua orang bisa akses. Sayangnya, masyarakat kecil yang tidak punya pengaruh atau akses ke pejabat sering kali menjadi korban dari sistem yang tidak responsif ini.

Di tengah ketidakpercayaan terhadap birokrasi, inisiatif Lapor Bang Wabup yang diusung oleh Wakil Bupati Abang Ijo Hapidin tampaknya menjadi angin segar. Melalui media sosial, warga bisa menyampaikan keluhan langsung dan, dalam banyak kasus, mendapatkan tanggapan cepat.

Tidak jarang laporan yang viral diakun TikTok membuat aparat pemerintah bergerak lebih cepat dari biasanya. Wakil Bupati sendiri bahkan turun langsung ke lapangan, menengahi masalah, menfasilitasi warga, dan memaksa OPD serta kepolisian untuk segera bertindak.

Namun, keberhasilan program ini justru menimbulkan pertanyaan yang lebih besar: Mengapa birokrasi baru bergerak setelah ada tekanan dari publik? Mengapa masalah-masalah ini tidak bisa ditangani sejak awal tanpa harus menunggu viral?

Laporan Infrastruktur Yes, Laporan Korupsi No?

Ketika masyarakat harus berjuang keras agar suara mereka didengar, ini bukan lagi sekadar masalah komunikasi antara warga dan pemerintah. Ini adalah indikasi bahwa sistem birokrasi kita bermasalah.

Jika sebuah laporan bisa langsung ditindaklanjuti saat menjadi perhatian banyak orang, berarti sebenarnya ada kapasitas untuk merespons cepat. Yang jadi pertanyaan, mengapa kecepatan ini tidak diterapkan dalam kasus-kasus lain yang tidak mendapat sorotan publik?

Seharusnya, ada mekanisme yang lebih sistematis di setiap OPD untuk menangani laporan masyarakat. Jika sistem birokrasi bekerja sebagaimana mestinya, setiap laporan yang masuk akan diproses tanpa harus melalui jalur tidak resmi atau bergantung pada seberapa besar tekanan dari publik. Tapi kenyataannya, banyak laporan yang justru mandek di meja pejabat, dilempar ke instansi lain, atau sekadar dijawab dengan janji kosong.

Ironisnya, dalam Ogan Lopian misal, masalah-masalah yang berkaitan dengan fisik, seperti jalan rusak lebih banyak direspon daripada laporan yang menyangkut penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, atau ketidakadilan dalam pelayanan publik sering kali berakhir tanpa kejelasan.

Harus Viral Dulu Baru Direspons?

Yang lebih menyedihkan, banyak warga yang sebenarnya ingin mencari keadilan malah dipingpong dari satu instansi ke instansi lain. Mereka tidak paham prosedur hukum, tidak tahu harus mulai dari mana, dan akhirnya menyerah begitu saja. Dalam situasi seperti ini, mereka yang punya kuasa, terutama oknum dalam pemerintahan justru diuntungkan. Laporan yang tidak diproses berarti tidak ada konsekuensi bagi mereka yang seharusnya bertanggung jawab.

Kondisi ini semakin menguatkan anggapan bahwa birokrasi kita hanya bergerak ketika ada tekanan. Ini bukan hanya masalah di Purwakarta, tapi fenomena yang terjadi di berbagai daerah. Lembaga Administrasi Negara (LAN) mencatat bahwa 67% masyarakat merasa pelayanan publik masih lambat dan berbelit-belit. Ini menunjukkan bahwa masalah birokrasi yang enggan bergerak tanpa paksaan bukan sekadar keluhan tanpa dasar.

Seharusnya, kita tidak perlu bergantung pada media sosial untuk mendapatkan hak kita sebagai warga negara. Kita tidak boleh terus berada dalam situasi di mana satu-satunya cara agar laporan kita diproses adalah dengan membuatnya viral. Jika itu yang terus terjadi, maka kita harus jujur mengakui bahwa birokrasi kita telah gagal dalam tugas utamanya: melayani masyarakat.

 

Agus Sanusi, M.Psi

Penulis adalah Dosen dan Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *