Opini  

“Impor Beras Rekor 2024: Cermin Kegagalan Sistemik yang Memalukan”

Dadan K Ramdan/taktis.co

Indonesia kembali mencatat sejarah kelam dalam ketahanan pangan: impor beras tahun 2024 melonjak ke rekor tertinggi tujuh tahun terakhir, yakni 4,52 juta ton. Lonjakan 47,38% dari tahun sebelumnya ini bukan sekadar angka statistik, melainkan bukti nyata kegagalan sistemik pemerintah dalam mengelola sektor pertanian.

Padahal, Indonesia pernah dijuluki “lumbung padi Asia Tenggara”, tetapi kini justru bergantung pada beras impor dari Thailand dan Vietnam. Pertanyaannya: kenapa kita terus terjebak dalam lingkaran impor yang merusak ini?

Kompleksitas masalah ini dimulai dari menyusutnya lahan pertanian dan mandeknya regenerasi petani. Prima Gandhi, pakar pertanian IPB, lewat Kompas, mengungkap Indonesia kehilangan.150 ribu hektar lahan pertanian setiap tahun akibat alih fungsi menjadi perumahan, pabrik, atau perkebunan sawit.

Di saat bersamaan, generasi muda enggan melanjutkan profesi bertani karena dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi. Hasilnya, produksi beras nasional terus tergerus, sementara pemerintah malah membuka keran impor selebar-lebarnya. Padahal, jika lahan dan petani terus berkurang, impor bukan solusi, melainkan jalan pintas menuju bencana pangan

Ironisnya, kebijakan impor yang dianggap “solusi” justru memperburuk keadaan. Khudori dari KRKP, dalam analisisnya di Katadata, menggambarkan situasi ini sebagai “lingkaran setan”: impor tinggi menyebabkan harga gabah di tingkat petani anjlok (hingga 20% pada 2024), petani pun semakin enggan menanam, produksi turun, dan impor terpaksa dinaikkan lagi. Celakanya, 70% impor beras 2024 dilakukan swasta—diduga untuk spekulasi harga—sehingga kebijakan ini lebih menguntungkan korporasi ketimbang petani kecil. Alih-alih stabilisasi, yang terjadi adalah pengorbanan petani lokal demi kepentingan pasar.

Masalah ini semakin parah karena korupsi menggerogoti anggaran pertanian. Bustanul Arifin, ekonom pertanian Universitas Lampung, lewat investigasi Tempo, menegaskan bahwa korupsi anggaran pertanian masih menjadi tumor ganas.

Subsidi pupuk, bantuan alat mesin pertanian (alsintan), dan perbaikan irigasi kerap salah sasaran. Banyak alsintan mangkrak di gudang dinas pertanian daerah, sementara dana hibah “hilang” di meja pejabat. Jika anggaran triliunan rupiah dikelola dengan baik, mustahil Indonesia gagal meningkatkan produksi beras. Ini bukan kelalaian, tapi kejahatan terstruktur!

Di balik itu, Indonesia sedang menggadaikan kedaulatan pangan ke pasar global. Arief Prasetyo dari Foodbank of Indonesia mengingatkan: “Bagaimana jika suatu hari negara pengekspor berhenti supply? Kita kelaparan?” Peringatan serupa datang dari FAO: impor beras berlebihan membahayakan ketahanan pangan jangka panjang.

Namun, pemerintah seolah tutup telinga, memilih solusi instan ketimbang membenahi sektor pertanian dari akar. Padahal, data BPS menunjukkan impor beras Indonesia fluktuatif namun cenderung meningkat: dari 444 ribu ton (2019) melonjak ke 4,52 juta ton (2024). Ini membuktikan tidak ada roadmap jelas untuk mencapai swasembada, meski pada era 1980-an Indonesia pernah berhasil swasembada beras berkat revolusi hijau.

Perubahan radikal diperlukan: moratorium alih fungsi lahan pertanian, reformasi subsidi yang transparan, penegakan hukum terhadap korupsi, dan proteksi harga gabah untuk petani. Jika tidak, Indonesia akan terus jadi negara pengimpor beras terbesar, sementara petani—yang menjadi tulang punggung pangan nasional—semakin terpinggirkan. “Beras impor mungkin mengisi pasar hari ini, tapi menghancurkan masa depan pangan Indonesia.” Sudah saatnya pemerintah berhenti jadi penonton dan mulai bekerja untuk kedaulatan pangan yang nyata!***

Dadan K Ramdan

Penulis adalah Pegiat Pangan tinggal di Purwakarta, Jawa Barat.

Get WordPress help, plugins, themes and tips at MachoThemes.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *