taktis.co – Kasus dugaan penipuan oleh LPK Azumy di Purwakarta menjadi tamparan keras bagi sistem pengawasan tenaga kerja di Indonesia, khususnya di Kabupaten Purwakarta. Bagaimana mungkin sebuah lembaga pelatihan bisa beroperasi, menarik dana hingga puluhan juta rupiah dari peserta, tanpa memiliki izin resmi?
Pertanyaan ini bukan hanya menyasar LPK Azumy, tetapi juga Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat dan aparat penegak hukum (APH) yang seharusnya mencegah hal semacam ini sejak awal.
Setiap tahun, ratusan pencari kerja tergiur janji manis keberangkatan ke luar negeri, namun tak jarang mereka justru menjadi korban praktik yang merugikan. Ironisnya, penindakan dari pihak berwenang sering kali datang terlambat, baru bergerak setelah ada korban yang mengadu.
Modus Lama, Korban Baru
Jika ditelaah lebih dalam, pola seperti ini bukanlah hal baru. Ada pola yang terus berulang: lembaga pelatihan menawarkan program menggiurkan, meminta sejumlah uang dengan dalih biaya administrasi, lalu tiba-tiba keberangkatan yang dijanjikan tak kunjung terealisasi.
Dalam dunia akademik, kasus semacam ini dapat dikaitkan dengan konsep yang dikemukakan oleh Edwin Sutherland yaitu white-collar crime atau kejahatan kerah putih. Pelakunya bukan preman di jalanan, melainkan orang-orang yang memiliki akses terhadap sistem dan kepercayaan publik bahkan punya kedekatan dengan sejumlah elit.
Tiga hal yang menjadi ciri khas dari modus ini yaitu: Pertama, penyalahgunaan Kepercayaan Publik. Dalam hal ini LPK Azumy berhasil meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah lembaga resmi dan kredibel. Kedua, manipulasi regulasi, dimana lembaga ini tetap beroperasi meski belum memiliki izin resmi, menunjukkan ada celah dalam sistem pengawasan. Ketiga dampak ekonomi dan sosial, dimana peserta yang tertipu tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga harapan mereka untuk bekerja di luar negeri.
Sayangnya, kelemahan utama dalam sistem kita adalah lemahnya pengawasan preventif. Seharusnya, pengawasan dilakukan sebelum masyarakat menjadi korban, bukan setelah kasus mencuat ke publik.
Disnaker Perlu Lebih Proaktif
Jika melihat fenomena yang terjadi George Stigler mengemukakan apa yang disebut dengan Regulatory Capture. Ia menjelaskan bahwa lembaga pengawas sering kali kehilangan independensinya karena “terpengaruh” oleh entitas yang seharusnya mereka awasi.
Dalam Kasus LPK Azumy di Purwakarta, Disnaker seharusnya melakukan pengawasan ketat terhadap lembaga pelatihan kerja (LPK). Namun, kenyataannya ada LPK yang beroperasi tanpa izin, menarik dana dari peserta, dan tetap beroperasi tanpa pengawasan ketat. Ini menunjukkan kemungkinan lemahnya independensi Disnaker dalam menegakkan aturan.
APH dan Penegakan Hukum yang Masih Lemah
Dalam perpektif Deterrence Theory yang dikembangkan oleh Beccaria dan Bentham, hukum hanya efektif jika memiliki tiga elemen utama diantaranya Kepastian hukum, Kecepatan penegakan dan Keparahan hukuman.
Sayangnya, dalam kasus-kasus seperti ini, hukum sering kali bergerak lambat. Korban harus berjuang sendiri mencari keadilan, sementara pelaku masih memiliki celah untuk mengelak. Dan dalam kasus LPK Azumy, korban bahkan terkesan di pingpong dan laporannya kurang ditanggapi serius.
Seharusnya, aparat penegak hukum tidak menunggu laporan masyarakat untuk bertindak. Jika ada indikasi pelanggaran sejak awal – seperti lembaga yang menarik dana tanpa izin resmi – maka tindakan hukum harus segera dilakukan sebelum korban bertambah banyak.
Kesimpulan: Jangan Tunggu Ada Korban Baru
Kasus ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa sistem pengawasan tenaga kerja masih memiliki banyak celah. Dari perspektif teori kejahatan kerah putih, regulatory capture, dan deterrence theory, jelas bahwa lemahnya pengawasan serta lambatnya respons hukum membuat kasus semacam ini terus terjadi.
Jika Disnaker dan APH ingin benar-benar melindungi masyarakat, mereka harus berhenti bersikap reaktif dan mulai membangun sistem yang lebih transparan, cepat, dan tegas. Jika tidak, kasus serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terjadi lagi.***
Agus Sanusi, M.Psi
Penulis adalah Dosen dan Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta.