Mungkin, ini terjadi tak hanya di wilayah perkotaan Purwakarta. Akhir-akhir ini suasana jalan raya yang semrawut menjadi pemandangan sehari-hari ditengah kemacetan lalu lintas yang tak kunjung usai, apalagi pada jam-jam sibuk.
Banyak pengendara roda dua yang memilih menghindari antrian panjang, saling menyalip diantara celah-celah kendaraan yang merayap pelan. Tak mau kalah, angkutan umum pun ikut berebut ruang, menambah keruwetan lalu lintas. Sementara itu, ada juga pengendara mobil pribadi yang seolah tidak memahami etika berkendara. Menambah kekacauan di jalan raya.
Seperti kemacetan yang tak terkendali, yang dimulai dari perempatan Rawasari, merambat ke Munjul Jaya, lalu ke Tegal Munjul, dan terus berlanjut sebelum memasuki Pasar Jumat. Lalu, disekitar Rawaroko kemacetan kembali terjadi, berlanjut hingga depan BJB, dan semakin parah di Bundaran BTN.
Di tengah kemacetan yang semakin parah, terlihat jelas betapa egoisnya sebagian pengendara, mereka seolah hanya memikirkan kepentingan sendiri, tanpa memperdulikan keselamatan atau kenyamanan orang lain. Pengendara motor yang nekat menyerobot seringkali memicu konflik dengan pejalan kaki atau bahkan petugas yang berusaha mengatur lalu lintas.
Sementara itu, sopir angkutan umum yang terburu-buru mengejar setoran tak segan memotong jalur atau berhenti mendadak, menambah risiko kecelakaan. Mobil pribadi yang seharusnya menjadi contoh justru sering kali terlihat melanggar aturan, seperti tidak memberi tanda saat berpindah jalur atau memarkir sembarangan di tepi jalan.
Kondisi ini, diperparah oleh minimnya penegakan hukum di jalan raya. Meski ada petugas yang berjaga, mereka seringkali kewalahan menghadapi volume kendaraan yang begitu besar. Akibatnya, pelanggaran lalu lintas seolah menjadi hal yang biasa dan dianggap wajar.
Padahal, jika setiap pengendara memiliki kesadaran untuk mematuhi aturan, kemacetan mungkin bisa diminimalisir. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, setiap orang berusaha mencari celah untuk maju, tanpa memikirkan dampaknya terhadap arus lalu lintas secara keseluruhan.
Tidak hanya itu, infrastruktur jalan yang kurang memadai juga turut berkontribusi pada masalah ini. Jalan-jalan yang sempit dan tidak terawat membuat arus kendaraan semakin tersendat. Di beberapa titik, seperti di sekitar Pasar Jumat atau Bundaran BTN kemacetan hampir selalu terjadi karena volume kendaraan yang melebihi kapasitas jalan.
Belum lagi masalah parkir liar yang seringkali memakan sebagian badan jalan, membuat ruang untuk kendaraan yang bergerak semakin sempit. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit dipecahkan, kemacetan membuat pengendara frustasi, dan frustasi itu kemudian diekspresikan dengan perilaku ugal-ugalan di jalan.
Dampak dari semua ini tidak hanya dirasakan oleh para pengendara, tetapi juga oleh masyarakat sekitar. Polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan yang terjebak macet semakin menurunkan kualitas hidup. Suara klakson yang terus-menerus berbunyi menambah tingkat kebisingan, membuat lingkungan sekitar menjadi tidak nyaman.
Bagi para pelajar atau pekerja yang harus melalui jalur ini setiap hari, kemacetan menjadi sumber stres yang tak terhindarkan. Mereka harus menghabiskan waktu berjam-jam di jalan, padahal waktu tersebut bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif.
Jika tidak ada langkah serius yang diambil, kondisi ini diprediksi akan semakin buruk di masa depan. Pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak diimbangi dengan perbaikan infrastruktur dan peningkatan kesadaran pengendara hanya akan memperparah kemacetan.
Dibutuhkan kerja sama dari semua pihak, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat sendiri, untuk menciptakan sistem transportasi yang lebih tertib dan efisien. Tanpa itu, jalan raya akan terus menjadi medan kekacauan yang merugikan semua orang.
Namun, yang lebih memprihatinkan adalah banyaknya pengendara yang tidak memahami tata cara berkendara yang baik dan benar. Mereka seolah tidak tahu atau tidak peduli dengan aturan dasar seperti menjaga jarak aman, menggunakan lampu sein saat berbelok, atau memberi prioritas kepada pejalan kaki.
Bahkan, sopan santun di jalan raya seolah telah hilang. Banyak pengendara yang bersikap kasar, saling teriak, atau menggunakan bahasa tidak pantas saat terjadi perselisihan kecil. Mereka lebih memilih untuk “menang sendiri” daripada mengutamakan keselamatan bersama.
Perilaku saling menyalip pun menjadi hal yang lumrah, bahkan di tikungan tajam atau di area yang seharusnya menjadi zona aman. Pengendara motor sering kali menerobos marka jalan, melintas di jalur yang salah, atau bahkan melawan arus hanya untuk mencari celah agar bisa lebih cepat sampai.
Mobil pribadi pun tak kalah nekat, sering kali memaksa masuk ke jalur yang sudah padat, atau menyalip kendaraan lain dengan cara yang membahayakan. Semua ini menunjukkan betapa rendahnya kesadaran akan pentingnya keselamatan dan ketertiban di jalan raya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di jalan-jalan utama, tetapi juga di lingkungan permukiman. Di jalan-jalan kecil yang seharusnya menjadi area tenang, pengendara sering kali melaju dengan kecepatan tinggi, tidak mempedulikan keberadaan anak-anak atau warga sekitar yang sedang beraktivitas. Bahkan, di area sekolah atau rumah sakit yang seharusnya menjadi zona bebas kendaraan, masih banyak pengendara yang seenaknya melintas tanpa memedulikan rambu-rambu yang ada.
Jika dilihat lebih dalam, masalah ini sebenarnya adalah cerminan dari budaya yang kurang menghargai aturan dan kepentingan bersama. Banyak orang yang merasa bahwa jalan raya adalah tempat untuk bersaing, bukan untuk bekerja sama.
Mereka menganggap bahwa melanggar aturan adalah hal yang wajar asalkan bisa mencapai tujuan dengan cepat. Padahal, jika semua orang memiliki kesadaran untuk mematuhi aturan dan saling menghargai, kemacetan dan kekacauan di jalan raya bisa diminimalisir.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi dan budaya masyarakat yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Dalam banyak aspek kehidupan, termasuk di jalan raya, sikap “yang penting saya selamat” atau “yang penting saya cepat” seolah telah menjadi norma yang diterima secara luas.
Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat peradaban dalam bermasyarakat, dimana nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan penghormatan terhadap hak orang lain sering kali diabaikan.
Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, pakar kebudayaan dan kebangsaan, hal ini merupakan dampak dari erosi nilai-nilai kebangsaan dan kegagalan dalam menanamkan rasa tanggung jawab sosial. Masyarakat kita sedang mengalami krisis karakter, di mana nilai-nilai kebersamaan dan gotong-royong semakin tergerus oleh individualisme yang berlebihan.
Dr. Sarlito Wirawan, Psikolog Sosial, dalam sebuah artikel menulis bahwa budaya instan dan materialistik telah mengikis kesadaran kolektif. Kita terlalu fokus pada hasil tanpa memedulikan proses, dan itu tercermin dalam perilaku sehari-hari, termasuk di jalan raya.
Dunia pendidikan pun turut bertanggung jawab atas kondisi ini. Meskipun sekolah dan institusi pendidikan formal telah menghasilkan banyak lulusan, tampaknya mereka belum sepenuhnya berhasil menciptakan generasi yang beradab dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi.
Pendidikan karakter, yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam membentuk kepribadian, sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Banyak lulusan yang mungkin pintar secara akademis, tetapi minim dalam hal sopan santun, empati, dan tanggung jawab sosial. Akibatnya, ketika mereka berada di jalan raya, nilai-nilai dasar seperti menghargai orang lain dan mematuhi aturan sering kali terlupakan.
Prof. Dr. Budi Santoso, seorang sosiolog terkemuka dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan bahwa masalah ini berakar pada kegagalan sistem pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai moral dan etika sejak dini. Pendidikan saat ini terlalu fokus pada aspek kognitif dan mengabaikan pembentukan karakter. Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga manusia yang beradab dan peduli terhadap lingkungan sosialnya.
Dari sisi budaya urban, seorang peneliti bernama Dr. Rina Wijayanti pernah berujar, bahwa rendahnya kesadaran berlalu lintas adalah cerminan dari budaya instan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat kita cenderung ingin serba cepat dan instan, tanpa memedulikan proses atau konsekuensi yang mungkin timbul.
Untuk merubah ini, diperlukan revolusi dalam sistem pendidikan yang tidak hanya fokus pada pencapaian akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa perubahan mendasar dalam cara kita mendidik generasi muda, sulit untuk mengharapkan terciptanya masyarakat yang beradab dan tertib, baik di jalan raya maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, perlu adanya upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk menciptakan budaya baru yang lebih menghargai aturan dan kepentingan bersama. Hanya dengan cara ini, kita bisa membangun peradaban yang lebih baik, di mana setiap individu memahami tanggung jawabnya sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.
Menurut para pakar, solusi konkret untuk mengatasi pergeseran budaya dan lemahnya dunia pendidikan harus dimulai dari tingkat dasar. Prof. Dr. Azyumardi Azra menekankan pentingnya revitalisasi pendidikan karakter melalui kurikulum yang lebih holistik. Pendidikan karakter harus diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran, bukan hanya menjadi materi tambahan yang terpisah.
Selain itu, ia menyarankan agar sekolah-sekolah mengadakan program rutin yang melibatkan siswa dalam kegiatan sosial, seperti bakti sosial atau kerja bakti, untuk menumbuhkan rasa empati dan tanggung jawab sosial.
Dr. Sarlito Wirawan juga mengatakan bahwa pendidikan harus lebih menekankan pada proses daripada hasil. Kita perlu mengajarkan anak-anak untuk menghargai proses belajar, bukan hanya mengejar nilai tinggi. Ia juga menyarankan agar pendidikan lalu lintas dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah sejak dini, sehingga anak-anak tumbuh dengan pemahaman yang baik tentang etika berlalu lintas.
Di tingkat masyarakat, Dr. Rina Wijayanti menyarankan adanya kampanye besar-besaran untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya tertib lalu lintas. Kampanye ini harus melibatkan semua elemen masyarakat, dari tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga selebritas, untuk menciptakan efek yang lebih luas.
Selain itu, ia menekankan pentingnya peran media dalam membentuk opini publik. Media harus lebih banyak menyoroti dampak negatif dari pelanggaran lalu lintas, serta memberikan apresiasi kepada mereka yang patuh pada aturan.
Dengan upaya kolaboratif ini, diharapkan dapat tercipta perubahan budaya yang lebih positif, di mana setiap individu memahami tanggung jawabnya sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.
Salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan budaya antri dalam berkendaraan adalah dengan melibatkan berbagai pihak, terutama kepolisian, untuk mengawasi dan menegakkan aturan antri kendaraan saat macet.
Menurut Komjen Pol. Drs. Istiono, ahli lalu lintas, penegakan hukum yang konsisten dan tegas adalah kunci untuk menciptakan disiplin di jalan raya. Polisi harus lebih aktif dalam mengawasi titik-titik rawan kemacetan dan memberikan sanksi tegas kepada pelanggar, seperti pengendara yang menyerobot antrian atau menggunakan bahu jalan.
Selain itu, ia menyarankan agar polisi bekerja sama dengan komunitas masyarakat dan relawan untuk membantu mengatur lalu lintas di saat-saat macet parah. Dengan melibatkan masyarakat, kita bisa menciptakan rasa tanggung jawab kolektif untuk menjaga ketertiban di jalan raya.
Di sisi lain, teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung penegakan aturan antri. Misalnya, penggunaan kamera CCTV dan drone untuk memantau titik-titik rawan kemacetan. Data dari pemantauan ini dapat digunakan untuk memberikan sanksi kepada pelanggar secara otomatis, seperti denda atau pengurangan poin SIM. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta budaya antri yang lebih baik, di mana setiap pengendara memahami pentingnya menjaga ketertiban dan keselamatan bersama di jalan raya.
Yuslipar
Penulis adalah Koordinator Forum Komunikasi Jurnalis Purwakarta (Fokus JP).